Sebuah lanjutan dari postingan sebelumnya, berikut adalah beberapa hal tentang Taiwan yang sebelumnya luput dari pembahasan di tulisan terdahulu.
11) Jika di Indonesia cara yang umum digunakan untuk mempublikasikan bahwa seseorang pernah berada di suatu tempat tersohor adalah dengan menggunakan medium check-in di Swarm/Foursquare/Path/FB, maka beda halnya dengan di Taiwan. Taiwanese looooove to stamp. Di setiap objek wisata terkenal pasti akan dengan mudah ditemukan tempat untuk membubuhkan stempel sebagai penanda pernah berkunjung ke sana. Biasanya tempat ini dikerubungin orang-orang yang membawa semacam buku catatan utang, menanti untuk dicap. Gak cuma anak kecil, pemuda-pemudi hingga orang tua pun masih memiliki antusiasme tinggi untuk melakukan hal yang sama. Old school dan konvensional tapi cukup menarik. Mungkin perlu juga dipertimbangkan untuk diterapkan di Indonesia.
12) Salah satu fitur utama sektor pariwisata Taiwan adalah keberadaan night market. Night market (yang terkadang dari sore pun sudah buka) ini bisa ditemui di seantero kota besar Taiwan, tersebar di banyak lokasi, dan beberapa memiliki ciri khas masing-masing. Meskipun demikian, ada kesamaan yang menonjol dari semuanya: night market di Taiwan adalah tempat berkumpulnya penjual makanan (juga minuman) terenak di seantero daerah tersebut. Berbeda dengan pasar malam di Indonesia yang biasanya lebih didominasi wahana permainan kayak komidi puter dan teman-temannya, hal yang lebih dominan di pasar malam Taiwan adalah keberadaan serbaneka hidangan kuliner yang memanjakan lidah. Memang tetep ada sih segelintir penyedia jasa permainan yang mengandalkan keberuntungan dan judi kecil-kecilan, tapi jumlahnya kalah jauh dibandingkan para penjaja makanan (dan minuman). Bisa dibilang kunjungan ke Taiwan tidaklah lengkap jika belum menyinggahi dua night market yang berbeda di satu kota, karena minimal di setiap kota ada tiga night market yang populer.
13) Mungkin belum banyak yang tau tentang ini, tapi terdapat dua cara menulis aksara Tiongkok yang berbeda: Traditional Chinese dan Simplified Chinese. Taiwan hingga kini bersikukuh menggunakan cara tradisional, sedangkan Tiongkok daratan memilih cara menulis yang dipermudah (simplified). Perbedaannya murni terletak pada bagaimana suatu kata ditulis, bukan pada bunyi kata tersebut (yang akan tetap sama pada cara penulisan tradisional meupun simplified). Tapi yang jelas, untuk seseorang yang tumbuh besar bersama huruf latin, penulisan cara tradisional jauh lebih ribet daripada simplified (secara namanya juga “dibikin simpel”). Misal: “Taiwan” di cara tradisional ditulis “台灣” sedangkan di simplified cukup ditulis “台湾“. Keliatannya sama ribetnya ya? Haha. Tapi percayalah, itu udah dibikin sederhana penulisannya (karena kalo yang tradisional banget aslinya ditulis “臺灣“).
Saya pernah iseng nanya ke temen2 Taiwan kenapa negaranya milih tetap pake yang tradisional, bukannya yang simplified aja, tapi rupanya pertanyaan saya membangkitkan sisi chauvinis mereka :p Bagi orang Taiwan, aksara tradisional dipandang lebih nyeni dan orisinil, warisan langsung dari ribuan tahun peradaban tinggi mereka. Sebuah hal yang sulit dikompromikan. Menurut orang sana, cara penulisan simplified diciptakan lebih karena orang-orang di mainland ngebet pengen memberantas tingkat buta huruf di antara miliaran penduduknya, jadinya ya pelajaran berbahasa dibikin segampang mungkin. Dan karena dasarnya orang Taiwan gak sudi disama-samain dengan orang-orang mainland, perbedaan cara penulisan ini sepertinya bakal tetap abadi.
14) Masih tentang bahasa, rupa-rupanya Taiwan tidak begitu kreatif dalam hal memberi nama daerah/kota yang ada di sana. 11-12 lah kayak Indonesia yang tinggal nyomot nama arah mata angin dan disematkan ke nama pulau untuk menyebut suatu daerah (Sumatera Utara, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dsb.). Taiwan pun begitu. Kunci menghapal beberapa nama daerah di Taiwan adalah dengan mengingat letak geografisnya: apakah ada di utara, timur, barat, atau selatan Pulau Formosa. Taichung (台中) secara harfiah berarti “Taiwan Tengah” karena lokasinya di tengah. Tainan (台南) di selatan. Taitung (台東) di timur, dan Taipei (台北) di utara. Nan, Pei, Tung, Chung, dsb. Kelihatannya mudah dihapal dengan hanya bermodal nama-nama kota tersebut dalam huruf latin. Namun ternyata tidak semudah itu.
Bahasa Tiongkok mirip-mirip bahasa Perancis dalam hal pelafalan. Apa yang tertulis beda dengan apa yang diucapkan. Misalnya “北” seharusnya ditransliterasikan menjadi “bei” dan dibaca (kurang lebih) “pei”. Itu sebabnya Beijing (北京) yang secara harfiah berarti “ibukota di utara” semestinya dibaca “Pei-cing”. Kalo 台北 masih ditransliterasikan jadi “Taipei” (padahal mestinya “Taibei”) itu lebih karena dulunya ada beberapa versi Romanisasi kata-kata dalam bahasa Tiongkok. RRT udah menggunakan hanyu pinyin sebagai metode dan standar resmi Romanisasi aksara Tiongkok ini, tapi Taiwan belum sepenuhnya menerapkan. Itu sebabnya kalo lagi di Taiwan akan banyak dijumpai variasi penamaan nama sebuah kota di marka jalan atau signage kendaraan umum, padahal merujuk ke kota yang sama. Misal: “Hsinchu” kadang masih juga ditulis “Xintzu”, atau “Taichung” yang kadang ditulis “Taizhong” (versi baku dalam pinyin). Jadi untuk menghapal nama lokasi di Taiwan ada baiknya mengingat versi huruf Tiongkoknya ketimbang yang sudah ditransliterasikan ke huruf latin.
15) Tidak seperti negara-negara yang sempat/masih ‘terpisah’ lainnya, macam Jerman (sebelum reunifikasi) dan Korea, isu reunifikasi dengan Tiongkok daratan di antara masyarakat Taiwan tergolong unik. Jika di Jerman dan Korea mayoritas masyarakatnya menginginkan reunifikasi dengan ‘saudara kembar’ nya, di Taiwan justru menginginkan sebaliknya. Atau, minimal, mempertahankan status quo. Banyak warga Taiwan yang sudah mengidentifikasi dirinya sebagai ‘orang Taiwan’ alih-alih ‘orang Tiongkok’ (meskipun masih menyandang nama resmi “Republic of China”). Mungkin selain faktor ego yang gak mau disama-samain dengan orang-orang Tiongkok daratan, mereka juga merasa Taiwan dan Tiongkok kini adalah dua entitas yang berbeda. Di dunia politik domestik Taiwan ini direpresentasikan dengan dua parpol yang mendominasi perpolitikan di sana: Kuomintang dan Democratic Progressive Party (DPP). Pada dasarnya kedua parpol ini tidak ada yang mengusung isu reunifikasi sebagai jualan utama. Kuomintang lebih mengedepankan kebijakan mempertahankan status quo, sedangkan DPP vokal menyuarakan kemerdekaan de facto dan de jure Taiwan. Konon pandangan politik warga Taiwan dapat dibedakan melalui letak geografisnya: semakin ke utara semakin pragmatis (pro-Kuomintang) dan semakin ke selatan semakin pro-kemerdekaan (DPP). Akhir tahun ini Taiwan bakal ngadain pemilu presiden dan, dari survei kecil-kecilan di antara teman-teman orang Taiwan, kemungkinan besar calon dari DPP bakal menang. Jika ditilik dari ideologi partainya, perlu disimak kiprah calon kuat presiden baru Taiwan ini dalam menyikapi hubungan dengan RRT.
16) Meskipun terkenal sebagai negara yang hi-tech abis, ternyata masih ada sisi tradisional dari Taiwan. Di negara ini masih banyak terdapat para penikmat sirih/pinang. Beneran sama kayak yang jamak dijumpai puluhan tahun lalu di kawasan rural Indonesia dan jadi penganan favorit mbah-mbah, tapi bedanya di sini buah pinang yang digunakan adalah yang segar, tidak dikeringkan. Mirip dengan yang biasa dikonsumsi di Papua. Juga umumnya dinikmati tanpa keterlibatan tembakau dan kapur sirih. Biasanya yang masih sering mengkonsumsi ‘penganan’ ini adalah supir-supir truk dan angkutan logistik lainnya. Tentunya karena sirih dan pinang memiliki efek stimulan yang diyakini dapat membuat mereka tetap terjaga selama menjalankan tugas. Karena konsumennya yang sangat segmented ini terkadang para penjual pinang harus menyesuaikan diri dalam ‘menjajakan barang’-nya. *halah* Di beberapa sudut kota-kota Taiwan umum dijumpai mbak-mbak berpakaian mengundang syahwat dan berdandan bak SPG pameran otomotif yang sebenarnya adalah penjaja pinang. Selain para supir truk, beberapa orang tua yang sudah berumur juga terkadang terlihat mengkonsumsi pinang. Di kota-kota besar populasi penikmat pinang ini nyaris punah, tapi di pinggiran kota dan kota-kota kecil masih jamak dijumpai bercak khas bewarna merah bekas ludahan setelah mengkonsumsi pinang.
17) Terkadang kalo saya melihat Indomaret dan Alfamart yang selalu berdekatan dan menjamur di seluruh penjuru kota, saya sering berpikir kalo Indonesia (minimal Jabodetabek) adalah tempat dengan kepadatan minimarket tertinggi di dunia. Ternyata itu salah. Taiwan lah juaranya dalam hal ini. Convenience store di Taiwan jumlahnya seabrek-abrek, dan selayaknya Indomaret dan Alfamart, lokasinya juga deket-deketan. Bahkan gak jarang bersebelahan. Yang paling populer di sini adalah 7-Eleven, Family Mart, Hi-Life dan OK Mart (dua terakhir ini kayaknya waralaba lokal asli Taiwan). Sama kayak di sini, convenience store di Taiwan juga menjual beraneka macam produk consumer goods dan F&B. Termasuk juga menerima pembayaran bagi beragam layanan. Bedanya, jika di Indonesia biasanya payment point di Indomaret/Alfamart langsung dilakukan di depan kasir, di Taiwan semuanya dilakukan di sebuah mesin serupa ATM yang disebut “Ibon”. Tidak hanya pemesanan/pembayaran tiket, online shop, top up pulsa, bayar tagihan, pajak, tilang, dsb, Ibon juga bisa digunakan untuk nge-print dan fotokopi. Semua dilakukan secara mandiri tanpa bantuan mz/mba kasir. Belakangan ini di beberapa minimarket di Indonesia juga mulai bisa ditemui mesin serupa, meskipun masih dalam bentuk yang sangat minimalis. Lumayan, gak ketinggalan-ketinggalan banget.
Buat saya yang paling memorable dari convenience store di Taiwan adalah yang ada di gambar di bawah ini: tea leaf egg atau tea egg. Pada dasarnya ini mirip banget sama semur telor. Bedanya kalo semur telornya diolah ketika udah pada dikupasin, tea egg diolah pas telor masih dalam kondisi seperti ketika keluar dari pantat ayam. Masih lengkap dengan cangkangnya. Tapi ini gak berarti tea egg gak ada rasanya, justru bumbunya bisa meresap ke dalam karena sebelum direbus telah diretakkan sedikit biar ada celah meresapnya bumbu dalam air rebusan. Sesuai dengan namanya, salah satu bahan perebus tea egg adalah daun teh. Sisanya berupa kecap manis, kecap asin, dan beragam rempah lainnya. Makanya aromanya khas banget. Biasanya digodog berhari-hari dan ketika dikupas warnanya telah kecoklatan dan memiliki pola seperti marmer akibat cangkangnya yang udah retak-retak. Tea egg bisa dijumpai di nyaris seluruh convenience store yang ada di Taiwan dan konon salah satu produk paling laku di sana. Harganya pun murah, cuma TWD 8 (sekitar Rp 3500/butir). Biasanya kalo lagi pengen ngirit, saya cuma beli beberapa onigiri sama tea egg buat makan (mengingat produk mi instan di Taiwan 90% non-halal). Murah meriah tapi bergizi lengkap dan mengenyangkan (dan berpotensi bisulan).
18) Tidak hanya di Indonesia, ketimpangan pembangunan antara bagian timur negeri dengan bagian barat negeri juga terjadi di Taiwan. Taiwan sisi barat jauh lebih maju dan developed ketimbang Taiwan sisi timur. Hampir semua kota utama Taiwan terletak di sisi barat Pulau Formosa, mulai dari Taipei, Kaohsiung, hingga Taichung. Sedangkan sisi timur Pulau Formosa hanya terdapat segelintir kota dan itu pun rasanya tidak tergolong ke kota besar/kota utama. Faktor geografis menjadi salah satu penyebab terjadinya hal ini. Sebagaimana diketahui, Taiwan adalah salah satu negara yang paling rawan terdampak bencana taifun. Hampir setiap tahun ada 2-3 taifun berskala besar menghantam negara ini. Biasanya yang terkena dampak lebih parah adalah wilayah timur Taiwan yang berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik, tempat bibit-bibit taifun tersebut bersemai dan membesar. Biasanya setelah menghantam sisi timur Taiwan, taifun akan melemah kekuatannya karena teredam oleh barisan pegunungan di tengah-tengah Pulau Formosa sehingga dampaknya pada sisi barat Taiwan tidaklah separah sisi timurnya. Itulah sebabnya pembangunan lebih dikonsentrasikan di barat. Sisi barat Taiwan juga diuntungkan dengan proksimitasnya pada Tiongkok daratan yang mempermudah perdagangan, bahkan dari era kolonialisme dahulu. Bangsa Eropa pertama kali juga menjejakkan kakinya di daratan Taiwan di sisi baratnya dan sisa-sisa peradaban mereka saat ini telah berkembang menjadi kota-kota besar di Taiwan.
19) Taiwan tidak mengadopsi sistem pemisahan kekuasaan ala trias politica konvensional yang dicetuskan Montesqieu dan jamak digunakan negara-negara berbentuk republik lainnya di dunia. Alih-alih trias politica, yang dianut di Taiwan adalah “penta politica”. Kekuasaan dibagi ke dalam lima lembaga utama. Selain lembaga (di Taiwan disebut “Yuan”) mainstream seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif, Taiwan juga menambah dua lembaga utama negara lain yaitu Examination Yuan dan Controlling Yuan. Sebenarnya gak istimewa-istimewa amat karena di negara-negara lain juga punya lembaga serupa yang memiliki nama berbeda. Yang membuat unik hanyalah pada penamaan lembaga-lembaga “tambahan” ini yang ‘disejajarkan’ dengan tiga lembaga utama negara tadi. Examination Yuan pada dasarnya mirip dengan fungsi Inspektorat di kementerian/lembaga pemerintahan. Sedangkan Controlling Yuan kurang lebih mirip dengan lembaga Ombudsman di Indonesia. Latar belakang mengapa Taiwan ‘menambahkan’ dua lembaga ini ke dalam struktur resmi pemerintahannya adalah karena bapak pendiri bangsanya, Dr. Sun Yat Sen, menganggap bahwa sistem “examination” dan “controlling” yang telah berjalan dengan baik selama berabad-abad masa kekaisaran di Tiongkok masih layak dipertahankan dan diadopsi untuk negara Tiongkok modern. Visinya untuk mengkombinasikan sistem trias politica klasik dengan ‘kearifan lokal’ ini akhirnya terwujud ketika Republic of China didirikan tahun 1912.
20) Taiwan bukanlah negara dengan populasi penduduk yang besar. Hanya sekitar 25 juta jiwa. Tapi (sebaiknya anda tahu), 1% dari total populasi Taiwan adalah orang Indonesia. Sekitar 250 ribuan jiwa lah. Jumlah ini menempatkan orang Indonesia sebagai orang asing terbanyak di Taiwan. Mayoritas memang bekerja di sektor non-formal, seperti buruh konstruksi dan pekerja domestik (terutama care giver for older people). Ditambah beberapa gelintir mahasiswa dan profesional yang bekerja di sana, yang biasanya juga alumnus dari universitas di Taiwan. Keberadaan komunitas “Yinni” (Indonesia dalam bahasa Tiongkok) yang cukup besar ini membuat beberapa lokasi di Taiwan memiliki informasi dan petunjuk dalam bahasa Indonesia. Yang paling gampang dilihat adalah di masjid-masjid seantero Taiwan. Di Museum Nasional Taiwan, bahasa Indonesia juga menjadi salah satu bahasa resmi dalam flyers dan brosur yang disediakan gratis bagi para pengunjung. Setiap akhir pekan, hall utama Taipei Main Station dan area sekitarnya menjadi tempat berkumpulnya ratusan (mungkin juga ribuan) masyarakat Indonesia di Taiwan. Jika kebetulan berada di sana, suasananya akan lebih terasa kayak di Jombang atau Cilacap alih-alih di luar negeri saking banyaknya yang ngobrol pake bahasa Jawa. Makanan Indonesia juga cukup mudah ditemui di Taipei. Sentra restoran dan kuliner Indonesia terletak di Taipei City Mall, sebuah mall bawah tanah kayak Blok M Mall, di dekat Taipei Main Station, tepatnya di sekitar Exit Y27-Y28. Jika homesick mendera dan udah bosen sama makanan Taiwan yang minim bumbu, pergi ke sana untuk memanjakan lidah adalah pilihan yang tepat.