Tentang Taiwan (2)

Sebuah lanjutan dari postingan sebelumnya, berikut adalah beberapa hal tentang Taiwan yang sebelumnya luput dari pembahasan di tulisan terdahulu.

11) Jika di Indonesia cara yang umum digunakan untuk mempublikasikan bahwa seseorang pernah berada di suatu tempat tersohor adalah dengan menggunakan medium check-in di Swarm/Foursquare/Path/FB, maka beda halnya dengan di Taiwan. Taiwanese looooove to stamp. Di setiap objek wisata terkenal pasti akan dengan mudah ditemukan tempat untuk membubuhkan stempel sebagai penanda pernah berkunjung ke sana. Biasanya tempat ini dikerubungin orang-orang yang membawa semacam buku catatan utang, menanti untuk dicap. Gak cuma anak kecil, pemuda-pemudi hingga orang tua pun masih memiliki antusiasme tinggi untuk melakukan hal yang sama. Old school dan konvensional tapi cukup menarik. Mungkin perlu juga dipertimbangkan untuk diterapkan di Indonesia.

IMG_20150815_145305428

Tempat membubuhkan stempel SPPD. *PNS internal joke* Belakangan baru saya ketahui kalo tempat mebubuhkan stempel kek gini bukan cuma eksis di tempat-tempat wisata saja, tapi bahkan di setiap stasiun MRT juga ada.

IMG_20150815_145023704

Ini hasil jadinya. Gak harus dibubuhkan di tempat khusus sih (kayak ini yang dicap di brosur), tapi rata-rata pada punya buku khusus tersendiri. Mungkin agar lebih mumpuni untuk dijadikan ajang pamer.

12) Salah satu fitur utama sektor pariwisata Taiwan adalah keberadaan night market. Night market (yang terkadang dari sore pun sudah buka) ini bisa ditemui di seantero kota besar Taiwan, tersebar di banyak lokasi, dan beberapa memiliki ciri khas masing-masing. Meskipun demikian, ada kesamaan yang menonjol dari semuanya: night market di Taiwan adalah tempat berkumpulnya penjual makanan (juga minuman) terenak di seantero daerah tersebut. Berbeda dengan pasar malam di Indonesia yang biasanya lebih didominasi wahana permainan kayak komidi puter dan teman-temannya, hal yang lebih dominan di pasar malam Taiwan adalah keberadaan serbaneka hidangan kuliner yang memanjakan lidah. Memang tetep ada sih segelintir penyedia jasa permainan yang mengandalkan keberuntungan dan judi kecil-kecilan, tapi jumlahnya kalah jauh dibandingkan para penjaja makanan (dan minuman). Bisa dibilang kunjungan ke Taiwan tidaklah lengkap jika belum menyinggahi dua night market yang berbeda di satu kota, karena minimal di setiap kota ada tiga night market yang populer.

Salah satu night market di Kaohsiung: Liuhe Night Market. Spesialisasinya adalah jajanan berupa sea food, mengingat Kaohsiung adalah pelabuhan utama di Taiwan dan terletak tak jauh dari laut

Salah satu night market di Kaohsiung: Liuhe Night Market. Spesialisasinya adalah jajanan berupa sea food, mengingat Kaohsiung adalah pelabuhan utama di Taiwan dan terletak tak jauh dari laut lepas

13) Mungkin belum banyak yang tau tentang ini, tapi terdapat dua cara menulis aksara Tiongkok yang berbeda: Traditional Chinese dan Simplified Chinese. Taiwan hingga kini bersikukuh menggunakan cara tradisional, sedangkan Tiongkok daratan memilih cara menulis yang dipermudah (simplified). Perbedaannya murni terletak pada bagaimana suatu kata ditulis, bukan pada bunyi kata tersebut (yang akan tetap sama pada cara penulisan tradisional meupun simplified). Tapi yang jelas, untuk seseorang yang tumbuh besar bersama huruf latin, penulisan cara tradisional jauh lebih ribet daripada simplified (secara namanya juga “dibikin simpel”). Misal: “Taiwan” di cara tradisional ditulis “” sedangkan di simplified cukup ditulis “台湾“. Keliatannya sama ribetnya ya? Haha. Tapi percayalah, itu udah dibikin sederhana penulisannya (karena kalo yang tradisional banget aslinya ditulis “臺“).

Saya pernah iseng nanya ke temen2 Taiwan kenapa negaranya milih tetap pake yang tradisional, bukannya yang simplified aja, tapi rupanya pertanyaan saya membangkitkan sisi chauvinis mereka :p Bagi orang Taiwan, aksara tradisional dipandang lebih nyeni dan orisinil, warisan langsung dari ribuan tahun peradaban tinggi mereka. Sebuah hal yang sulit dikompromikan. Menurut orang sana, cara penulisan simplified diciptakan lebih karena orang-orang di mainland ngebet pengen memberantas tingkat buta huruf di antara miliaran penduduknya, jadinya ya pelajaran berbahasa dibikin segampang mungkin. Dan karena dasarnya orang Taiwan gak sudi disama-samain dengan orang-orang mainland, perbedaan cara penulisan ini sepertinya bakal tetap abadi.

14) Masih tentang bahasa, rupa-rupanya Taiwan tidak begitu kreatif dalam hal memberi nama daerah/kota yang ada di sana. 11-12 lah kayak Indonesia yang tinggal nyomot nama arah mata angin dan disematkan ke nama pulau untuk menyebut suatu daerah (Sumatera Utara, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dsb.). Taiwan pun begitu. Kunci menghapal beberapa nama daerah di Taiwan adalah dengan mengingat letak geografisnya: apakah ada di utara, timur, barat, atau selatan Pulau Formosa. Taichung (台中) secara harfiah berarti “Taiwan Tengah” karena lokasinya di tengah. Tainan (台南) di selatan. Taitung (台東) di timur, dan Taipei (台北) di utara. Nan, Pei, Tung, Chung, dsb. Kelihatannya mudah dihapal dengan hanya bermodal nama-nama kota tersebut dalam huruf latin. Namun ternyata tidak semudah itu.

Bahasa Tiongkok mirip-mirip bahasa Perancis dalam hal pelafalan. Apa yang tertulis beda dengan apa yang diucapkan. Misalnya “北” seharusnya ditransliterasikan menjadi “bei” dan dibaca (kurang lebih) “pei”. Itu sebabnya Beijing (北京) yang secara harfiah berarti “ibukota di utara” semestinya dibaca “Pei-cing”. Kalo 台北 masih ditransliterasikan jadi “Taipei” (padahal mestinya “Taibei”) itu lebih karena dulunya ada beberapa versi Romanisasi kata-kata dalam bahasa Tiongkok. RRT udah menggunakan hanyu pinyin sebagai metode dan standar resmi Romanisasi aksara Tiongkok ini, tapi Taiwan belum sepenuhnya menerapkan. Itu sebabnya kalo lagi di Taiwan akan banyak dijumpai variasi penamaan nama sebuah kota di marka jalan atau signage kendaraan umum, padahal merujuk ke kota yang sama. Misal: “Hsinchu” kadang masih juga ditulis “Xintzu”, atau “Taichung” yang kadang ditulis “Taizhong” (versi baku dalam pinyin). Jadi untuk menghapal nama lokasi di Taiwan ada baiknya mengingat versi huruf Tiongkoknya ketimbang yang sudah ditransliterasikan ke huruf latin.

15) Tidak seperti negara-negara yang sempat/masih ‘terpisah’ lainnya, macam Jerman (sebelum reunifikasi) dan Korea, isu reunifikasi dengan Tiongkok daratan di antara masyarakat Taiwan tergolong unik. Jika di Jerman dan Korea mayoritas masyarakatnya menginginkan reunifikasi dengan ‘saudara kembar’ nya, di Taiwan justru menginginkan sebaliknya. Atau, minimal, mempertahankan status quo. Banyak warga Taiwan yang sudah mengidentifikasi dirinya sebagai ‘orang Taiwan’ alih-alih ‘orang Tiongkok’ (meskipun masih menyandang nama resmi “Republic of China”). Mungkin selain faktor ego yang gak mau disama-samain dengan orang-orang Tiongkok daratan, mereka juga merasa Taiwan dan Tiongkok kini adalah dua entitas yang berbeda. Di dunia politik domestik Taiwan ini direpresentasikan dengan dua parpol yang mendominasi perpolitikan di sana: Kuomintang dan Democratic Progressive Party (DPP). Pada dasarnya kedua parpol ini tidak ada yang mengusung isu reunifikasi sebagai jualan utama. Kuomintang lebih mengedepankan kebijakan mempertahankan status quo, sedangkan DPP vokal menyuarakan kemerdekaan de facto dan de jure Taiwan. Konon pandangan politik warga Taiwan dapat dibedakan melalui letak geografisnya: semakin ke utara semakin pragmatis (pro-Kuomintang) dan semakin ke selatan semakin pro-kemerdekaan (DPP). Akhir tahun ini Taiwan bakal ngadain pemilu presiden dan, dari survei kecil-kecilan di antara teman-teman orang Taiwan, kemungkinan besar calon dari DPP bakal menang. Jika ditilik dari ideologi partainya, perlu disimak kiprah calon kuat presiden baru Taiwan ini dalam menyikapi hubungan dengan RRT.

16) Meskipun terkenal sebagai negara yang hi-tech abis, ternyata masih ada sisi tradisional dari Taiwan. Di negara ini masih banyak terdapat para penikmat sirih/pinang. Beneran sama kayak yang jamak dijumpai puluhan tahun lalu di kawasan rural Indonesia dan jadi penganan favorit mbah-mbah, tapi bedanya di sini buah pinang yang digunakan adalah yang segar, tidak dikeringkan. Mirip dengan yang biasa dikonsumsi di Papua. Juga umumnya dinikmati tanpa keterlibatan tembakau dan kapur sirih. Biasanya yang masih sering mengkonsumsi ‘penganan’ ini adalah supir-supir truk dan angkutan logistik lainnya. Tentunya karena sirih dan pinang memiliki efek stimulan yang diyakini dapat membuat mereka tetap terjaga selama menjalankan tugas. Karena konsumennya yang sangat segmented ini terkadang para penjual pinang harus menyesuaikan diri dalam ‘menjajakan barang’-nya. *halah* Di beberapa sudut kota-kota Taiwan umum dijumpai mbak-mbak berpakaian mengundang syahwat dan berdandan bak SPG pameran otomotif yang sebenarnya adalah penjaja pinang. Selain para supir truk, beberapa orang tua yang sudah berumur juga terkadang terlihat mengkonsumsi pinang. Di kota-kota besar populasi penikmat pinang ini nyaris punah, tapi di pinggiran kota dan kota-kota kecil masih jamak dijumpai bercak khas bewarna merah bekas ludahan setelah mengkonsumsi pinang.

They spit blood, not saliva

They spit ‘blood’, not saliva

17) Terkadang kalo saya melihat Indomaret dan Alfamart yang selalu berdekatan dan menjamur di seluruh penjuru kota, saya sering berpikir kalo Indonesia (minimal Jabodetabek) adalah tempat dengan kepadatan minimarket tertinggi di dunia. Ternyata itu salah. Taiwan lah juaranya dalam hal ini. Convenience store di Taiwan jumlahnya seabrek-abrek, dan selayaknya Indomaret dan Alfamart, lokasinya juga deket-deketan. Bahkan gak jarang bersebelahan. Yang paling populer di sini adalah 7-Eleven, Family Mart, Hi-Life dan OK Mart (dua terakhir ini kayaknya waralaba lokal asli Taiwan). Sama kayak di sini, convenience store di Taiwan juga menjual beraneka macam produk consumer goods dan F&B. Termasuk juga menerima pembayaran bagi beragam layanan. Bedanya, jika di Indonesia biasanya payment point di Indomaret/Alfamart langsung dilakukan di depan kasir, di Taiwan semuanya dilakukan di sebuah mesin serupa ATM yang disebut “Ibon”. Tidak hanya pemesanan/pembayaran tiket, online shop, top up pulsa, bayar tagihan, pajak, tilang, dsb, Ibon juga bisa digunakan untuk nge-print dan fotokopi. Semua dilakukan secara mandiri tanpa bantuan mz/mba kasir. Belakangan ini di beberapa minimarket di Indonesia juga mulai bisa ditemui mesin serupa, meskipun masih dalam bentuk yang sangat minimalis. Lumayan, gak ketinggalan-ketinggalan banget.

Ibon di Sevel Taiwan (sumber dari sini)

Buat saya yang paling memorable dari convenience store di Taiwan adalah yang ada di gambar di bawah ini: tea leaf egg atau tea egg. Pada dasarnya ini mirip banget sama semur telor. Bedanya kalo semur telornya diolah ketika udah pada dikupasin, tea egg diolah pas telor masih dalam kondisi seperti ketika keluar dari pantat ayam. Masih lengkap dengan cangkangnya. Tapi ini gak berarti tea egg gak ada rasanya, justru bumbunya bisa meresap ke dalam karena sebelum direbus telah diretakkan sedikit biar ada celah meresapnya bumbu dalam air rebusan. Sesuai dengan namanya, salah satu bahan perebus tea egg adalah daun teh. Sisanya berupa kecap manis, kecap asin, dan beragam rempah lainnya. Makanya aromanya khas banget. Biasanya digodog berhari-hari dan ketika dikupas warnanya telah kecoklatan dan memiliki pola seperti marmer akibat cangkangnya yang udah retak-retak. Tea egg bisa dijumpai di nyaris seluruh convenience store yang ada di Taiwan dan konon salah satu produk paling laku di sana. Harganya pun murah, cuma TWD 8 (sekitar Rp 3500/butir). Biasanya kalo lagi pengen ngirit, saya cuma beli beberapa onigiri sama tea egg buat makan (mengingat produk mi instan di Taiwan 90% non-halal). Murah meriah tapi bergizi lengkap dan mengenyangkan (dan berpotensi bisulan).

Penunda lapar murah meriah. Untungnya pulang dari sana saya gak bisulan

Penunda lapar murah meriah. Untungnya pulang dari sana saya gak bisulan

18) Tidak hanya di Indonesia, ketimpangan pembangunan antara bagian timur negeri dengan bagian barat negeri juga terjadi di Taiwan. Taiwan sisi barat jauh lebih maju dan developed ketimbang Taiwan sisi timur. Hampir semua kota utama Taiwan terletak di sisi barat Pulau Formosa, mulai dari Taipei, Kaohsiung, hingga Taichung. Sedangkan sisi timur Pulau Formosa hanya terdapat segelintir kota dan itu pun rasanya tidak tergolong ke kota besar/kota utama. Faktor geografis menjadi salah satu penyebab terjadinya hal ini. Sebagaimana diketahui, Taiwan adalah salah satu negara yang paling rawan terdampak bencana taifun. Hampir setiap tahun ada 2-3 taifun berskala besar menghantam negara ini. Biasanya yang terkena dampak lebih parah adalah wilayah timur Taiwan yang berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik, tempat bibit-bibit taifun tersebut bersemai dan membesar. Biasanya setelah menghantam sisi timur Taiwan, taifun akan melemah kekuatannya karena teredam oleh barisan pegunungan di tengah-tengah Pulau Formosa sehingga dampaknya pada sisi barat Taiwan tidaklah separah sisi timurnya. Itulah sebabnya pembangunan lebih dikonsentrasikan di barat. Sisi barat Taiwan juga diuntungkan dengan proksimitasnya pada Tiongkok daratan yang mempermudah perdagangan, bahkan dari era kolonialisme dahulu. Bangsa Eropa pertama kali juga menjejakkan kakinya di daratan Taiwan di sisi baratnya dan sisa-sisa peradaban mereka saat ini telah berkembang menjadi kota-kota besar di Taiwan.

19) Taiwan tidak mengadopsi sistem pemisahan kekuasaan ala trias politica konvensional yang dicetuskan Montesqieu dan jamak digunakan negara-negara berbentuk republik lainnya di dunia. Alih-alih trias politica, yang dianut di Taiwan adalah “penta politica”. Kekuasaan dibagi ke dalam lima lembaga utama. Selain lembaga (di Taiwan disebut “Yuan”) mainstream seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif, Taiwan juga menambah dua lembaga utama negara lain yaitu Examination Yuan dan Controlling Yuan. Sebenarnya gak istimewa-istimewa amat karena di negara-negara lain juga punya lembaga serupa yang memiliki nama berbeda. Yang membuat unik hanyalah pada penamaan lembaga-lembaga “tambahan” ini yang ‘disejajarkan’ dengan tiga lembaga utama negara tadi. Examination Yuan pada dasarnya mirip dengan fungsi Inspektorat di kementerian/lembaga pemerintahan. Sedangkan Controlling Yuan kurang lebih mirip dengan  lembaga Ombudsman di Indonesia. Latar belakang mengapa Taiwan ‘menambahkan’ dua lembaga ini ke dalam struktur resmi pemerintahannya adalah karena bapak pendiri bangsanya, Dr. Sun Yat Sen, menganggap bahwa sistem “examination” dan “controlling” yang telah berjalan dengan baik selama berabad-abad masa kekaisaran di Tiongkok masih layak dipertahankan dan diadopsi untuk negara Tiongkok modern. Visinya untuk mengkombinasikan sistem trias politica klasik dengan ‘kearifan lokal’ ini akhirnya terwujud ketika Republic of China didirikan tahun 1912.

IMG_20150904_165542170

Gedung Controlling Yuan, semacam lembaga Ombudsman kalo di Indonesia, di Taipei. Salah satu dari lima Yuan yang ada di Taiwan

20) Taiwan bukanlah negara dengan populasi penduduk yang besar. Hanya sekitar 25 juta jiwa. Tapi (sebaiknya anda tahu), 1% dari total populasi Taiwan adalah orang Indonesia. Sekitar 250 ribuan jiwa lah. Jumlah ini menempatkan orang Indonesia sebagai orang asing terbanyak di Taiwan. Mayoritas memang bekerja di sektor non-formal, seperti buruh konstruksi dan pekerja domestik (terutama care giver for older people). Ditambah beberapa gelintir mahasiswa dan profesional yang bekerja di sana, yang biasanya juga alumnus dari universitas di Taiwan. Keberadaan komunitas “Yinni” (Indonesia dalam bahasa Tiongkok) yang cukup besar ini membuat beberapa lokasi di Taiwan memiliki informasi dan petunjuk dalam bahasa Indonesia. Yang paling gampang dilihat adalah di masjid-masjid seantero Taiwan. Di Museum Nasional Taiwan, bahasa Indonesia juga menjadi salah satu bahasa resmi dalam flyers dan brosur yang disediakan gratis bagi para pengunjung. Setiap akhir pekan, hall utama Taipei Main Station dan area sekitarnya menjadi tempat berkumpulnya ratusan (mungkin juga ribuan) masyarakat Indonesia di Taiwan. Jika kebetulan berada di sana, suasananya akan lebih terasa kayak di Jombang atau Cilacap alih-alih di luar negeri saking banyaknya yang ngobrol pake bahasa Jawa. Makanan Indonesia juga cukup mudah ditemui di Taipei. Sentra restoran dan kuliner Indonesia terletak di Taipei City Mall, sebuah mall bawah tanah kayak Blok M Mall, di dekat Taipei Main Station, tepatnya di sekitar Exit Y27-Y28. Jika homesick mendera dan udah bosen sama makanan Taiwan yang minim bumbu, pergi ke sana untuk memanjakan lidah adalah pilihan yang tepat.

IMG_20150918_164613758

Public service announcement di Masjid Raya Kaohsiung yang tentunya menggunakan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa pengantar

IMG_20150906_131845502_HDR

Salah satu dari beberapa restoran Indonesia di Taipei City Mall. Penikmatnya ternyata tidak hanya orang kita, tapi juga warga setempat yang udah terlanjur kesengsem sama masakan Indonesia

IMG_20150924_074000076

Setiap Sabtu-Minggu, tempat ini berubah jadi lokasi nongkrong favorit komunitas Indonesia di Taiwan (ini masih pagi jadi rada sepi)

#sixtydaysoftaiwan

Dulu saya pernah berniat bikin photoblog. Biar disegani warga sekitar kayak orang-orang. Namun niatan itu kandas karena terbentur kenyataan pahit: hidup saya lumayan monoton. Tidak banyak yang layak dijadikan objek foto. Gak kayak para photoblogger papan atas yang menjalani hari ke hari dengan wah dan selalu menemui hal baru. Gak mungkin kan setiap hari cuma upload foto-foto seputar KRL dan para penumpangnya? *mungkin aja sih* *monolog*

Tapi dua bulan lalu akhirnya saya menemukan momen yang pas untuk memulai suatu photoblog. Bukan di WordPress, melainkan di Instagram. Medium yang lebih nyaman dan mumpuni untuk berbagi produk visual yang diambil dengan kamera pas-pasan (because… filters!!). Lengkapnya bisa dilihat di tagar #sixtydaysoftaiwan di Instagram. Awalnya hanya dimaksudkan sebagai penghitung hari, untuk mengusir kebosanan dan rasa homesick akibat durasi training di Taiwan selama dua bulan yang (awalnya) dirasa kelamaan. Pun juga merasa akan kesulitan mencari objek foto yang bukan itu-itu aja selama dua bulan tersebut. Namun makin mendekati akhir masa training justru makin sulit memilih mana foto yang layak untuk dijadikan pic of the day saking banyaknya foto yang diambil semasa (kurang lebih) 60 hari di Taiwan.

Hashtag (yang seakan jadi) milik sendiri di Instagram

Tidak semua foto di #sixtydaysoftaiwan diambil pada hari yang sama dengan yang tertera di caption. Ada yang sifatnya insidental, langsung dijepret (aih bahasanya) dan diunggah pada hari yang sama. Biasanya ini kejadian waktu nemu objek foto unik nan mencengangkan pada saat-saat field trip dan plesiran ke luar kota. Tapi kebanyakan diambil pada satu hari tertentu, terutama weekend, untuk kemudian diunggah pada 5 hari kerja berikutnya :D Sedikit licik memang, tidak mencerminkan kondisi pada hari yang tertera di caption. Tapi itu semata demi mendukung keragaman suasana yang ditangkap dalam foto (kalo nggak, fotonya bakal cuma tentang kehidupan di sekitar asrama training centre doang).

Jadi, yah begitulah… Bisa disimak di slideshow berikut. Petualangan saya selama +/- 60 hari di Taiwan yang terekam dalam gambar (kecuali Day 31 yang urung dimasukkan karena berbentuk video).

This slideshow requires JavaScript.

Menjajal Taiwan HSR

Kesempatan memang terkadang datang tanpa dinyana dan tak terduga. Hanya dalam kurun waktu setahun setelah saya menuntaskan salah satu obsesi saya sebagai seorang self-proclaimed railfan, kini saya juga mampu mencoret satu lagi bucket list di dunia perkeretaapian. Sabtu lalu akhirnya saya berkesempatan menjajal kecepatan super Taiwan High Speed Rail (THSR) dari Stasiun Zuoying di pinggir Kota Kaohsiung menuju Hsinchu, kota tempat tinggal saya selama dua bulan belakangan. THSR berbeda dari bullet train-bullet train di negara-negara lain karena ini adalah ekspansi perdana sistem operasional beserta electric multiple units (EMU) Shinkansen, sang pionir teknologi bullet train, ke luar Jepang. Bisa dibilang menumpangi THSR 99% serupa dengan menumpang Shinkansen. Yang berbeda cuma lokasinya doang.

Wacana pembangunan bullet train di Indonesia sempat marak sebulan belakangan, meskipun kemudian berakhir secara anti klimaks. Rencana pembangunan bullet train Jakarta-Bandung diperebutkan oleh Tiongkok dan Jepang namun berujung pada kekecewaan karena pemerintah hanya mau proyek ini bersifat B-to-B, tanpa adanya pendanaan dari pemerintah. Di satu sisi, pembatalan ini bisa dimaklumi karena rute Jakarta-Bandung terlalu pendek bagi sebuah kereta cepat untuk menunjukkan performa puncaknya. Belum ditambah dengan beberapa pemberhentian di tengah-tengah rute yang membuat jarak tempuh Jakarta-Bandung dengan bullet train cuma unggul tipis dari perjalanan via Tol Cipularang. Tapi di sisi lain, pembatalan ini juga membuyarkan impian sebagian orang, termasuk saya, untuk mencicipi layanan kereta cepat di tanah air sendiri. Membangun jaringan bullet train memang bukan perkara yang murah (dan mudah) karena harus dibangun di jalur dedicated yang steril dari persilangan dengan jalan raya atau gangguan lainnya. Bayangkan berapa biaya yang dibutuhkan jika dari Jakarta-Surabaya terbentang ratusan kilometer jalan layang khusus untuk kereta ini menyusuri pantai utara Pulau Jawa. Belum ditambah pembangunan fasilitas pendukung seperti stasiun, depo, dan jaringan kelistrikan. Jadi mungkin keputusan pemerintah sudah tepat (untuk saat ini) dan semoga jika terlontar wacana serupa di masa mendatang bukan lagi sekadar PHP seperti sekarang.

Kembali ke THSR, jaringan kereta cepat ini terbentang dari ibukota Taipei di utara Pulau Formosa hingga Kaohsiung di ujung selatan. Well, technically speaking, tepatnya bukan di Kota Kaohsiung sih, tapi di distrik Zuoying, kawasan sub urban utara Kaohsiung. Perjalanan saya lakukan setelah melakukan trip seharian keliling Kaohsiung. Lokasi Stasiun HSR Zuoying nempel dengan Stasiun MRT dan Stasiun TRA (kereta api reguler) yang juga bernama sama. Stasiun ini dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari salah satu objek wisata terpopuler di Kaohsiung: Lotus Pond dengan pagoda kembarnya. Cuma memang agak jauh, sekitar 2 km-an atau bahkan lebih. Tapi sangat mudah ditemukan, cukup ikuti jalur pedestrian sepanjang rel kereta api.

IMG_20150919_145621791

Mendekati Stasiun HSR Zuoying

IMG_20150919_145748844_HDR

Stasiun terminus yang cukup besar, terdiri dari 3 lantai dengan peron yang terletak di lantai dasar

IMG_20150919_150137940

Masuk melalui Entrance/Exit 3. Jika keluar melalui pintu ini, akan langsung bisa dijumpai deretan bus Kenting Express terparkir di seberang jalan yang siap mengantar ke Kenting National Park.

Di setiap stasiun HSR di Taiwan tersedia dua macam metode pembelian tiket: (1) langsung melalui kounter penjualan, dan (2) melalui vending machine. Penjualan tiket di kounter biasanya selalu diwarnai antrian panjang karena juga melayani penukaran tiket yang telah dipesan via internet/convenience store maupun tiket untuk kelompok besar. Sedangkan vending machine biasanya lebih sepi, mungkin salah satunya karena banyak orang yang enggan (baca: takut) melakukan transaksi bernominal besar melalui mesin tersebut.

IMG_20150919_150706439

Deretan ticketing vending machine di Stasiun HSR Zuoying. Ada yang hanya menerima pembayaran non tunai melalui kartu debet dan kredit, ada juga yang menerima tunai dan non tunai.

IMG_20150919_150717842_HDR

Navigasi cara pembelian tiket THSR melalui vending machine terhitung sangat mudah. Jika sudah terbiasa membeli tiket single trip MRT pasti akan piawai menggunakannya.

IMG_20150919_150757690

Tiket non-reserved seat jurusan Zuoying-Hsinchu, dengan tempat duduk di gerbong 10 hingga 12 seharga TWD 1270 (TWD 1 = Rp 440) yang cukup menguras isi dompet. Tidak ada nomor bangku di tiket ini karena emang sifatnya non-reserved (secara lebih murah, huhu). Juga tidak ada nomor kereta dan jadwal keberangkatan. Valid selama digunakan pada tanggal pembelian.

IMG_20150919_150805202

Stasiun HSR Zuoying yang cukup ramai di kala wiken

Tiket THSR berbentuk kartu tipis ber-magnetic stripe yang cukup diselipkan di mesin pembaca di tiap-tiap gate in untuk diambil kembali setelah melewatinya. Nanti di stasiun tujuan kembali ulangi langkah yang sama dan tiketnya bisa disimpan, alih-alih ditelan oleh mesin di gate out. Tidak ada pemeriksaan tiket di dalam kereta. Yang ada cuma penjaja makanan resmi yang mondar-mandir ke tiap gerbong, itu pun lebih banyak berupa minuman dingin maupun panas (tidak ada nasgor sayangnya).

IMG_20150919_151248115

Turun ke peron di lantai dasar….

...dan nemu ini. Dua! :)

…dan nemu ini. Dua! :)

IMG_20150919_151052973_HDR

Sayangnya masih verbodden. Lagi dibersihin.

Di dalam gerbong non-reserved seat. Formasi tempat duduk 3-2. Terhitung sepi, jadi bisa seenaknya pilih tempat duduk yang dipengenin.

Ada vending machine di tiap sambungan antar gerbong

Ada beverages vending machine di beberapa sambungan antar gerbong

Denah rangkaian kereta

Denah rangkaian kereta. 12 gerbong: 1 gerbong kelas bisnis, 8 gerbong standar reserved seat, 3 gerbong standar non-reserved seat.

Sayangnya tidak ada colokan, jadilah power bank menggantikan fungsinya. Juga tidak ada wi-fi on-board, padahal di beberapa review dibilangnya ada. Mungkin cuma untuk kelas bisnis.

Sayangnya tidak ada colokan, jadilah power bank menggantikan fungsinya. Juga tidak ada wi-fi on-board, padahal di beberapa review dibilangnya ada. Mungkin cuma untuk kelas bisnis.

Perjalanan dari ujung ke ujung (Zuoying – Taipei) konon mampu ditempuh hanya dalam waktu 90 menit. Tapi ternyata itu dengan ketentuan: kereta yang dinaiki adalah yang hanya berhenti di dua pemberhentian: Taichung (kota terbesar ketiga di Taiwan) dan Taoyuan (C.K.S. International Airport). Jadi hanya berlaku untuk THSR ‘versi ekspres’ yang jadwal keberangkatannya terhitung lebih banyak. Sedangkan untuk THSR ‘versi reguler’ yang singgah di lebih banyak pemberhentian (termasuk di Hsinchu), otomatis waktu tempuhnya menjadi lebih molor. Kayak kereta yang saya tumpangi yang menempuh 1 jam 20 menit dari Zuoying ke Hsinchu. Frekuensinya pun relatif lebih jarang, bisa cuma 1 jam sekali.

Untuk soal kecepatan tentu tidak diragukan lagi. Saya merasakan sendiri akselerasi dari sesaat setelah berlepas dari stasiun hingga mencapai kecepatan penuh. Sungguh takjub melihat tiang-tiang penyuplai aliran listrik di sisi rel yang tadinya tegak berdiri perlahan terlihat makin doyong seiring percepatan laju kereta. Semua terjadi nyaris tanpa suara bising dan goncangan yang signifikan. Ilustrasinya bisa dilihat pada video berikut yang diambil beberapa saat setelah kereta meninggalkan Stasiun Chiayi menuju Taichung:

 

Lalu bandingkan dengan video yang diambil waktu kereta (sepertinya) mencapai kecepatan penuh) ini:

 

Dengan top speed berkisar 300 km/jam, maka tidak mengherankan jika jarak Zuoying ke Taipei bisa ditempuh hanya dalam waktu 1,5 jam. Sebagai perbandingan, jarak yang sama jika ditempuh menggunakan bus yang berjalan di atas jalan bebas hambatan akan memakan waktu sekitar 5 jam. Jika diaplikasikan di Indonesia (Pulau Jawa khususnya), maka jarak Jakarta-Surabaya bisa ditempuh dalam waktu hanya sekitar 3 jam. Saat ini, bahkan dengan Argo Bromo Anggrek, kereta tercepat yang dimiliki PT KAI, waktu tempuh 3 jam hanya mampu menempuh jarak dari Jakarta ke Cirebon. Sungguh akan menjadi kompetitor berat para maskapai penerbangan tanah air di masa mendatang.

IMG_20150919_170116290_HDR

Tepat pukul 17.00 kereta memasuki Stasiun HSR Hsinchu. Pemberhentian terakhir di Taipei hanya berjarak dua stasiun lagi.

Naik kereta sleeper class lintas negara udah, Shinkansen (meskipun cuma versi KW super) juga udah.. (#riya) Yang belum kesampean berarti tinggal naik Trans Siberia dari Vladivostok ke Moskow. Untuk yang satu ini kayaknya emang obsesi yang ketinggian :)) Mungkin perlu direvisi menjadi ‘hanya’ menempuh jarak dari ujung barat ke ujung timur Pulau Jawa, yaitu dari Merak ke Banyuwangi. Atau, berhubung telah merasakan kecepatan 300 km/jam, mungkin kini saatnya meningkatkan level bucket list ke tingkatan yang lebih tinggi: menjajal maglev (magnetic levitation) train yang memiliki kecepatan hingga lebih dari 600 km/jam (mampus gak tuh..) di Eropa atau Jepang sana. Semoga bukan angan yang ketinggian. Semoga.

Tentang Taiwan

Sejak awal Agustus ini saya berkesempatan untuk mengikuti sebuah training yang diselenggarakan Kementerian Perekonomian Taiwan. Penugasan dari kantor ini rupanya gak sebentar, hampir dua bulan. Biasanya yang namanya international training durasinya gak nyampe dua minggu, atau mentok-mentok sebulan. Tapi buat saya yang kebetulan belum pernah menempuh studi di luar negeri, kesempatan dua bulan di negara orang ini udah lumayan banget buat nambah pengalaman. Apalagi di program training ini pesertanya gak cuma para PNS Taiwan tapi juga ada partisipan dari 10 negara lainnya (termasuk Indonesia, tentu saja). Bisa melatih kemampuan berbahasa Inggris yang tak seberapa dan juga merasakan hidup sebagai global citizen (ciee gitu).

Kota tempat program training ini berlangsung (sayangnya) bukan di Taipei, melainkan di Hsinchu, kota kecil berjarak 1 jam perjalanan dari ibukota. Kota yang mungkin masih sangat asing namanya bagi orang Indonesia tapi cukup populer di kalangan orang Taiwan sendiri karena keberadaan 2 universitas negeri favorit: National Tsing Hua University (NTHU) dan National Chao Tung University (NCTU). Iya, Hsinchu ini bisa dibilang semacam kota pelajarnya Taiwan. Mungkin itu juga yang membuat Kementerian Perekonomian Taiwan membangun pusdiklatnya di sini. Hsinchu juga dikenal sebagai Sillicon Valley-nya Taiwan akibat keberadaan mayoritas perusahaan-perusahaan ICT terkemuka asal negara tersebut yang berkantor dan memiliki industri manufaktur di kota ini.

Hampir satu bulan mengenyam pendidikan di Hsinchu membuat saya  merasa cukup menyelami seluk beluk kehidupan sehari-hari warga Taiwan (*tsaelah*). Secara umum, karakter orang Taiwan itu salah satu yang paling baik di dunia. They’re not just really nice, but like GENUINELY NICE people. Mungkin kendala utama mereka hanya masalah bahasa karena jarang yang bisa berbahasa Inggris dengan baik dan benar sehingga kadang ada juga yang menjaga jarak dengan orang asing. But, once the language barrier removed, they will try their best to be your close friend.

Jika karakter manusia dianggap sebagai suatu hal yang subjektif dan tidak bisa merepresentasikan gambaran umum masyarakat Taiwan secara keseluruhan, maka berikut saya rangkum beberapa fakta tentang Taiwan yang didapat dari hasil ngobrol dan observasi pribadi selama sebulan ini:

1) Seperti halnya di Korea Selatan, Israel, atau Singapura, para pemuda Taiwan (pemudi excluded) diwajibkan untuk mengikuti satu tahun wajib militer (atau di sini disebutnya “military service”). Tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya, peserta  wajib militer ini rupanya tidak harus berdiam di barak dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan terkait angkatan perang selama masa bakti satu tahun tersebut. Beberapa ditempatkan di sekolah, kantor pemerintahan, dinas sosial, dsb. Semacam magang aja jadinya. Seperti salah satu officer yang ditugaskan di pusdiklat sini yang bertugas sebagai semacam liaison officer bagi para partisipan asing. Kebetulan karena dia juga sangat fasih berbahasa Inggris (pemegang paspor AS dan Taiwan) jadi diuntungkan dengan kemampuannya tersebut dan dapat slot khusus dalam penempatannya. Sedangkan buat yang tidak memiliki talenta khusus, nasib penempatannya ditentukan dengan cara diundi. Kalo lagi apes ya kedapatan bertugas di perbatasan dan garis depan setiap uji coba militer. Sometimes life just isn’t fair :)

2) Di Taiwan, jarang sekali warganya menyebut RRT dengan nama resminya: People’s Republic of China. Mungkin karena memang masih merasa sebagai pemilik klaim sah atas penamaan “Republic of China” yang telah berdiri sejak tahun 1911 dulu. Istilah yang umum digunakan di sini untuk merujuk tetangga sekaligus saudaranya itu adalah “Mainland (China)”. Tidak berhenti pada keengganan penyebutan nama, orang-orang di sini juga mayoritas antipati terhadap segala hal yang berbau Tiongkok daratan, terutama turis-turisnya yang konon OKB tapi jorok dan ndeso. Selera warga Taiwan lebih berkiblat ke Jepang, suatu hal yang mungkin dipengaruhi akibat cukup lamanya menjadi koloni negara tersebut (awal abad 20 s/d 1945). Sulit ditemui orang Taiwan yang menggunakan produk-produk (elektronik, ICT, kendaraan bermotor, you name it) Made In China. Bahkan tahun lalu para mahasiswa di sana sampe menduduki gedung parlemen untuk menolak penandatanganan FTA antara RRT dan Taiwan. Emang bukan cuma karena rasa antipati doang sih, lebih karena mereka merasa FTA tersebut akan merugikan Taiwan secara ekonomi, tapi bisa menggambarkan gimana sensitifnya hubungan antara Taiwan dengan negara jirannya itu. Googling aja Sunflower Student Movement atau bisa dilihat di sini.

3) Negara ini terhitung cukup hipster karena menolak penggunaan sistem penanggalan internasional. Saat ini di Taiwan masih tahun 104, dihitung dari pendirian Republik Tiongkok pada tahun 1911 oleh Dr. Sun Yat Sen yang mengakhiri berabad-abad kekuasaan monarki di sana. Cuma tahun aja sih yang beda, tanggal dan bulan masih menggunakan kaidah mainstream yang digunakan di belahan dunia lainnya. Jadi inget jama’ah Gereja Maradona di Argentina yang menggunakan tahun kelahiran Diego Maradona sebagai awal penanggalannya :)) (atau juga, ga usah jauh-jauh, sistem penanggalan Hijriah).

2015 Masehi = 104 Tahun Taiwan (TT) *singkatannya ga enak*

2015 Masehi = 104 Tahun Taiwan (TT) *singkatannya ga enak*

4) Meskipun hampir tiada hari tanpa babi di menu sehari-hari orang Taiwan, tapi ternyata makanan nasional mereka adalah hidangan yang (bisa dibilang) halalan toyyiban. Beef Noodle kerap dianggap sebagai duta besar kuliner Taiwan. Kalo di Indonesia mungkin semacam soto mi: isinya mi dicampur tauge dan potongan-potongan daging sapi lalu disiram kuah kaldu sapi yang pekat karena bumbu di dalam mangkok gede dan dihidangkan bersama acar. Porsinya kuli banget dan rasanya emang enak (tapi tergantung yang masak juga sih). Jika berkantong pas-pasan, beef noodle juga banyak tersedia dalam bentuk kemasan instan dengan rasa yang tidak jauh berbeda. Rata-rata dijual seharga NTD 40-50 (sekitar 16-20 ribu rupiah).

Solusi Beef Noodle murah meriah

Solusi Beef Noodle murah meriah

5) Kalo untuk minuman nasional, rasanya semua akan sepakat untuk menobatkan bubble tea drinks. Keberadaan kedai bubble tea di Taiwan bisa dibandingkan dengan warung rokok di Indonesia: tiap 100 meter ada. Beragam franchise dengan beragam pilihan isian dan kombinasi rasa tersedia. Konon  varian minuman ini memang diciptakan pertama kali di Taiwan. Menjamurnya kedai bubble tea ini juga didukung kebiasaan warga sini yang (sepertinya) ogah kalo minumannya polos macam akuwa dan sebangsanya. Jadinya di tiap keramaian selalu terlihat orang-orang pada megang gelas gede berembun dengan sedotan gede ala pop ice. Cukup mengintimidasi buat turis-turis berbudget minimalis seperti saya yang cuma bermodal botol air mineral kosong dan kemana-mana nyari drinking water dispenser buat isi ulang :(

Kedai bubble tea macam ini menjamur hingga pelosok. Tapi gak cuma jualan teh doang, kadang juga jus buah, kopi, dan minuman panas

6) Sikap warga Taiwan terhadap ‘bencana alam’ typhoon yang kerap mendera mungkin sama kayak sikap warga Kampung Pulo terhadap banjir. Saking seringnya jadi udah terbiasa dan dianggap angin lalu. Gak ada persiapan khusus untuk menyambut datangnya angin topan, paling cuma wanti-wanti kalo nanti mungkin bakal mati listrik sebentar. Seperti awal Agustus lalu ketika Typhoon Soudelor, topan berkekuatan terbesar dunia tahun ini, menghantam Taiwan. Kita-kita para peserta asing yang seumur hidup belom pernah ngerasain typhoon  parnonya setengah mampus, sampe nyetok makanan banyak-banyak seolah-olah besok kiamat. Ketika topan menghantam Hsinchu malam hingga dini hari pada gak bisa tidur karena (menurut kami) angin berhembus begitu kencang dan berputar-putar di atas gedung dormitory *takut gentengnya pada copot*.  Eh para Taiwanese classmates pas diceritain malah pada ngakak ngetawain kenorakan kami. Di Taipei sendiri yang kerusakannya lebih parah, 2 buah bus surat yang jadi doyong karena typhoon malah jadi objek wisata baru… -_-

2B3A5AD100000578-0-image-a-5_1439198634054

Taiwanese… Why??

2B399F4F00000578-0-image-a-44_1439200831214

7) Satu hal yang menurut saya sangat menarik di Taiwan adalah ihwal “English name”. Jadi di Taiwan bukanlah hal yang aneh jika seseorang mengadopsi ‘nama Inggris’ sebagai nama depannya sebagai alias atas ‘nama Cina’-nya. Contohnya para personel F4 lah: Jerry Yan, Vannes Wu, Vic Zhou, dan satu lagi saya lupa :p. Biasanya ini digunakan karena tuntutan pekerjaan (kantornya banyak berhubungan dengan warga negara asing yang sulit menghapal nama-nama asli mereka) atau emang karena pengen aja biar terkesan G4UL, penuh nuansa modernitas dan sangat kekinian. Tapi yang saya baru tau setelah berada di sini adalah: pemilihan nama Inggris untuk diadopsi sebagai nama depan itu sifatnya random abis. Suka-suka dia aja, yang sekiranya dianggap cool, keren, dan cocok. Tanpa ada pola tertentu berdasarkan kemiripan pelafalan kayak di Indonesia (Liem Sioe Liong = Sudono Salim, Tan Oei Hok = Tanoto something, dsb.) Bahkan temen saya bilang dia bebas aja nanti kalo mau ganti nama Inggris dia sekiranya udah bosen (atau sudah tidak trendy dan kekinian lagi), karena toh segala dokumen kependudukan dan identitas pribadi dia menggunakan nama asli  yang mana daripada itu merupakan nama khas Tiongkok. Jadi bisa aja sekarang dia minta dipanggil “Kevin”, tapi tahun depan ganti jadi “Richard”. Lah ngapah bisa gitu yaaakkk… :)))

8) Warga Taiwan secara umum sangat meneladani slogan Haornas era Menpora Hayono Isman: Mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga. Orang-orangnya sporty-sporty banget, jarang ditemui orang Taiwan yang overweight apalagi obesitas. Tidak cukup hanya jogging di pagi hari, mereka juga melakukannya di sore hingga malam hari dan terkadang disambung olahraga lain macam basket atau pingpong. Heran, kapasitas paru-parunya berapa cc dah? Oh iya, sepakbola sangat tidak populer di sini. Bola basket dan baseball adalah cabang olahraga utama yang digilai penduduk Taiwan. Perbandingan orang-orang yang make jersey NBA vs jersey klub-klub liga ternama Eropa di tempat-tempat keramaian sepertinya 10:1. TV-TV lokal maupun satelit di sini pun gak ada yang nyiarin liga-liga Eropa tiap weekend. Gak ada yang bisa diajak ngobrol seputar isu lapangan hijau maupun si kulit bundar (ala-ala editorial Harian TopSkor). Saking butanya terhadap kancah belantika persepakbolaan dunia, pernah saya ke kelas pake jersey Milan yang bersponsor Fly Emirates lalu ditanya: “Itu kaos didapat karena pernah terbang pake Emirates ya??” *cry*

9) Skuter matic adalah andalan warga Taiwan dalam beraktivitas sehari-hari. Gak ada tuh namanya jenis-jenis motor lain macam motor bebek dan moge sporty. 90% isi jalanan di Taiwan didominasi oleh kendaraan bermotor roda dua jenis ini. Merek-merek yang umum digunakan umumnya adalah Kymco (ini pemimpin pasar di sini) dan SYM yang semuanya merupakan buatan lokal. Dari mahasiswa sampe ibu-ibu hampir semuanya menggunakan jenis motor yang sama. Parkirnya pun di pinggir jalan, di atas trotoar malah. Tapi ya entah kenapa lebih civilized, terutama dibandingkan sama tingkah polah emak-emak penunggang matic di Indonesia. Di sini juga tidak ditemui parkir meter, juga tanpa keberadaan kang parkir yang secara misterius tiba-tiba muncul minta selembar duarebuan. Petugas dari dinas perparkiran setempat selalu stand by di lokasi-lokasi parkir (pinggir jalan sekalipun) untuk mengambil record setiap kendaraan yang terparkir dan menyerahkan tanda buktinya kepada sang pengemudi. Pembayaran pun tidak dilakukan langsung kepada si petugas, tapi ke rekening pemda setempat dan bisa dibayar via mobile/internet banking atau di convenience store seperti 7-11 dan Family Mart. Mudah dan nyaman.

Pemandangan yang sangat jamak di Taiwan

Pemandangan yang sangat jamak di Taiwan

10) Ini kayaknya hal terunik di Taiwan dan tidak akan ditemui di mana pun (cmiiw), juga mungkin suara yang paling memorable dan ngangenin dari Taiwan: singing garbage truck. Truk sampah (di Indonesia) kerap diidentikkan dengan kendaraan yang luar biasa jorok, bau sampah (yaiyalah..), penuh belatung, dengan air sisa limbah yang berceceran menetes sepanjang jalan. Tapi di Taiwan, truk sampahnya steril, bersih, kawaii, dan yang paling penting: bisa bernyanyi! Pas pertama saya di sini, ta’ pikir itu mobil es krim yang setiap sore lewat komplek. Rupanya suara ‘bernyanyi’ itu dimaksudkan sebagai tanda bagi para penduduk untuk membuang sampah rumah tangga mereka langsung ke truk sampah yang ngider ke pemukiman warga setiap harinya. Mungkin karena di Taiwan gak ada iuran sampah RT. Sebelum dikumpulkan di truk sampah, sampah-sampah masyarakat rumah tangga ini telah dipilah-pilah terlebih dahulu sehingga mepermudah proses daur ulang. Konon tiap hari juga ada jadwalnya: hari ini sampah kertas yang dikumpulin ke truk sampah, besok sampah organik, besoknya lagi sampah beling/kaca, dan seterusnya.

Taiwanese singing garbage truck en route to Bantar Gebang

Sementara segitu dulu yang bisa saya share tentang (ke)hidup(an) di Taiwan. Kalo ada yang keingetan akan saya tambahin. Sampai jumpa di episode On The Spot Trans|7 yang membahas 10 hal terunik yang bisa kamu temui di negara-negara lainnya (video courtesy of YouTube).