A Journey To Bromo

Saya masih ingat akhir tahun lalu pernah nulis ini:

Begitulah, buat saya yang menganut prinsip hidup akan berjalan lebih natural tanpa dibebani target, resolusi tahun baru terasa asing. Jika pun terpaksa harus bikin, maka yang terbersit di benak saya cuma itu. Tahun 2013 yang telah tiga bulan berlalu sejauh ini sih berjalan sangat baik untuk saya. Terlalu baik malah. Setiap bulan saya mendapat pengalaman baru yang telah lama diobsesikan. Konser Weezer di Januari, Milan Glorie di Februari, dan bepergian ke Bromo Maret ini. Untuk yang terakhir agak melenceng dari resolusi sih sebenernya, karena dalam so-called resolusi-resolusian itu saya pengennya solo travelling, sedangkan yang saya barusan alamin itu travelling bareng temen. Well yeah, at least i can unlock one achievement level in my not-so-special life :p

Backpacking ke Bromo buat saya udah jadi semacam obsesi sejak pertengahan tahun lalu, thanks to blog-blog traveler lokal dan interlokal yang telah berhasil menghasut alam bawah sadar saya untuk melancong ke tempat-tempat yang belum pernah disinggahi di Nusantara. Bromo menjadi tujuan pertama yang paling feasible karena gak harus nyebrang pulau sehingga ongkos bisa ditekan semurah mungkin. Budget yang saya anggarkan waktu itu tidak lebih dari Rp 500 ribu dengan waktu perjalanan maksimal 3 hari 2 malam. Rute yang dipilih pun yang paling mainstream: Jakarta-Malang-Probolinggo-Cemoro Lawang pp. Setelah membandingkan itinerary yang di-share di beberapa blog, rasanya rute tersebut yang paling mudah dan paling bisa ditebak budgetnya.

Ketika tujuan telah ditetapkan, waktu bepergian menjadi hal yang harus diutuskan selanjutnya. Pilihan awal saya adalah pada long weekend di akhir Januari 2013. Tiket sudah dipesan jauh-jauh hari (KA Matarmaja JKT-MLG pp @ Rp 51.000) dari bulan November, namun rupanya Tuhan berkehendak lain. Pertengahan Januari lalu Jakarta dilanda banjir besar dan rumah saya jadi salah satu korbannya. Isu akan adanya puncak hujan dan banjir yang lebih besar pada akhir bulan terpaksa membuat saya mengurungkan niat dan membiarkan tiket yang udah terlanjur dibeli hangus. Tapi justru kejadian itu membawa hikmah. Waktu ngobrol ngalor ngidul bareng temen, saya sempat cerita tentang rencana yang gagal ini. Ternyata beberapa orang menanggapi antusias dan ingin ikut serta dalam rencana perjalanan. Hasrat traveling yang sempat padam akhirnya bangkit kembali :))

Setelah mengalami bongkar pasang siapa aja yang bakal ikut, akhirnya ada empat orang (termasuk saya) yang fix ikutan. Empat-empatnya juga belum pernah ke Bromo dan cuman ngandelin itinerary yang saya bikin based on riset kecil-kecilan hasil blogwalking dan Google Maps :D Waktu perjalanan pun ditetapkan pada tanggal 8-12 Maret dengan mengambil jatah bolos pada hari kejepit sebelum Nyepi. Tiket udah di tangan, peserta udah jelas, tinggal nunggu hari H. Selancar itu? Tunggu dulu, ini baru permulaannya… :))

CHAPTER I: JAKARTA-MALANG

Jadi begini, tanggal perjalanan itu ditetapkan sebelum kami mendapat jadwal perkuliahan semester genap (FYI, peserta perjalanan ini adalah para abdi negara yang sedang dibiayai rakyat untuk bersekolah). Akibatnya, dalam menyusun rencana kami mengasumsikan (sambil berharap) bahwa Jumat siang tidak ada kuliah karena KA berangkat dari Senen jam 14.05, dan kalau ada kuliah hari Senin dengan terpaksa harus absen. Sempat terbersit kekhawatiran akan ada jadwal perkuliahan yang bentrok tapi rupanya semesta berkonspirasi dengan kami sehingga ketika mendekati hari H, semua jadwal seperti mengakomodasi rencana kami ini.

Jumat 8 Maret 2013 diawali dengan kelas perkuliahan pagi dan berakhir jam 10.30. Setelah bergegas ke Stasiun UI untuk mengejar KRL jam 11.30 dan sholat jumat di Masjid Cut Meutia, kami pun tiba di Stasiun Pasar Senen jam 13.00 untuk menunggu keberangkatan KA Matarmaja jam 14.05.

IMG_0022

Menunggu di peron jalur 1 Stasiun Pasar Senen. Peron ini adalah tempat menunggu KA lintas utara (Semarang, Malang, Surabaya), sedangkan peron jalur 3 jadi tempat menunggu KA lintas selatan (Jogja).

‘Kejutan’ baru terjadi ketika kami menaiki kereta menuju tempat duduk. Tempat duduk Matarmaja itu formasinya 3-2 dengan posisi duduk berhadap-hadapan. Saya membeli tiket untuk 4 orang di Tiketdotcom dengan maksud agar bisa duduk di tempat duduk yang 4 orang saling berhadap-hadapan. Jika melihat pada denah tempat duduk yang tertera waktu pemesanan, tempat duduk yang saya inginkan adalah yang berkode A & B, karena C-D-E itu adalah tempat duduk untuk 6 orang. Tapi ternyata, Tiketdotcom salah dalam memberi info denah kursi penumpang. Seharusnya, tempat duduk untuk 6 orang adalah di kursi yang berkode A-B-C dan untuk yang 4 orang adalah D-E. Walhasil, kami pun terpaksa berbagi dua slot kursi dengan outsider(s).

tiketdotcom

Denah kursi penumpang KA Ekonomi di Tiketdotcom yang mengandung kesalahan fatal untuk pemilihan tempat duduk yang diinginkan. Oh iya, website ini juga cara paling mudah untuk memesan tiket KA ekonomi karena di website resmi PT KAI sendiri hanya menyediakan opsi pemesanan untuk kelas bisnis dan eksekutif.

IMG_0025

Suasana di dalam KA Matarmaja

Saran saya buat yang mau naik KA ekonomi dan belinya di Tiketdotcom, pastiin dulu mau kursi yang bertiga-bertiga atau yang berdua-berdua. Untuk pilihan yang pertama, sebaiknya pilih kursi dengan kode A-B-C, dan untuk yang kedua pastikan pilih yang D-E meskipun gak sesuai dengan gambar di denah (dengan asumsi denahnya belum diralat). Terus agar nantinya duduk bisa berhadap-hadapan (dan bukan punggung-punggungan), pastiin juga pemilihan nomor kursinya karena kalo liat di website gak keliatan posisinya. Waktu itu saya pilih nomor 17-18 dan itu berhadap-hadapan plus gak terlalu deket dari WC biar gak kebauan. Jadi, posisi kursi yang berhadap-hadapan itu  nomor 21-22, 19-20, 15-16, 13-14, 11-12, 9-10, dst. Oh, dan kalau gak pengen terlalu berisik dengan suara bising lokomotif, pilih gerbong setelah gerbong 1 & 2 (gerbong 3 s/d 6, selama persediaan masih ada).

Perjalanan Jakarta-Malang ditempuh dalam waktu 17,5 jam. Konon ini adalah rute terpanjang yang dimiliki PT KAI. Jakarta-Surabaya dengan kelas yang sama saja dapat ditempuh tiga jam lebih cepat dari waktu perjalanan Matarmaja. Mungkin ini akibat rutenya yang melingkari beberapa gunung selepas kota Solo. Dari hitung-hitungan saya, 3 jam pertama dilalui untuk Jakarta-Cirebon, lalu dua jam berikutnya untuk Cirebon-Tegal, dua jam kemudian masuk Semarang, diikuti Solo (3 jam), Madiun (1,5 jam), Kediri (1,5 jam), Blitar (2 jam) dan akhirnya tiba di Malang (3 jam). Highlight perjalanan JKT-MLG ini adalah nasi pecel yang dijual seharga Rp 3000 (!) di Stasiun Madiun yang enak banget (agak subjektif sih karena menggunakan indikator lidah saya yang cuma mengenal “enak” dan “enak banget”).

IMG_0023

Sempat berhenti di stasiun kota tempat kelahiran (dan pemakaman) Bung Karno, Blitar, sekitar jam 6 kurang di pagi hari. Trivia: did you know that “Matarmaja” = “MAlang-BliTAR-MAdiun-JAkarta”? :D

IMG_0027

IMG_20130309_080756

Tiba di Stasiun Malang pukul 8 pagi, meleset sekitar 20 menit dari jadwal. Untuk mencapai depan stasiun harus lewat terowongan bawah tanah, mirip kayak di Stasiun Pasar Senen.

CHAPTER II: MALANG-PROBOLINGGO

Setelah tiba di Stasiun Malang Kota Baru, tujuan berikutnya adalah ke Probolinggo. Sebelum ke terminal sempat sarapan soto depan stasiun dulu sambil ngobrol-ngobrol sama penjualnya. Dikasih insight (tsaelaaah insight..) sama bapak tukang sotonya kalo ke Terminal Arjosari paling enak naik angkot AMG karena jalannya cepet  lewat jalur utama tanpa muter-muter area pemukiman. FYI, di Malang itu angkot bukan ditandai dengan nomor, melainkan inisial area keberangkatan-tujuannya. Jadi, semua angkot yang mengandung huruf “A” di kode trayeknya (AL, ABG, AMG, dll) itu semua bertujuan ke (Terminal) Arjosari. Begitu keluar stasiun bisa langsung belok ke kanan nyegat angkot untuk ke terminal, atau bisa juga jalan lurus untuk mampir ke bunderan tugu Kota Malang dan foto2 ala album FB Me, Myself and I :))

IMG_20130309_083120

Soto di depan stasiun, isinya ayam, babat sama telor pake kuah kuning ditaburin koya bubuk. Gak enak2 banget sih, cuman karena lagi laper ya disikat aja..  

Ongkos angkot Stasiun-Arjosari cuma sebesar Rp 2500 dan untuk pergi ke Probolinggo dari sana bisa naik bus patas AKAS (ini PO yang paling populer) dengan tarif Rp 23.000. Sebenernya pernah baca ada opsi yang lebih murah dengan naik bus non AC seharga Rp 15.000-an, tapi kemarin gak nemu dan langsung disuguhin AKAS AC pada kesempatan pertama (dih, bahasa PNS banget inih…). Perjalanan Malang-Probolinggo ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam lebih, melewati Kabupaten Malang dan Pasuruan. Cuaca berubah drastis dari iklim sejuk pegunungan menjadi cuaca panas khas Pantura di tujuan akhir.

CHAPTER III: PROBOLINGGO-CEMORO LAWANG

Setelah tiba di terminal Bayuangga, Probolinggo, cukup keluar dari terminal dan belok ke arah kiri menuju tempat mangkal Bison. Jangan heran waktu mendekat ke tempat mangkal berasa dihardik sama orang-orang di situ. Cara bicara mereka emang keras menjurus nyolot kalo menurut saya, tapi emang begitu bawaannya :)) Entah kenapa mobil-mobil yang akan membawa kita ke Desa Cemoro Lawang, desa terdekat dari Bromo, ini disebut Bison. Kalo di Bekasi ini mirip Koasi K-01 Pulo Gadung-Perumnas III atau kalo di Bandung kayak angkot yang ke arah Lembang. Yang nyebelin dari menumpang Bison ini adalah kelakuan supirnya yang gak mau berangkat kalo penumpangnya belum nyampe 10. Waktu kami sampe, udah ada tiga turis bule yang sedang nunggu. Tinggal nunggu tiga orang lagi, but it feels like years. Setelah datang 3 orang tambahan (yang kemudian jadi teman cost sharing kami selama di Bromo), Bison tetep belum berangkat. Kira-kira satu setengah jam menunggu barulah itu mobil berangkat dengan beban 15 orang penumpang. Bener-bener ogah rugi si abang-abangnya…

IMAG0287

Suasana dalam Bison

IMG_0035

IMAG0294

Pemandangan menuju Cemoro Lawang

Probolinggo-Cemoro Lawang ditempuh dalam waktu +/- 1,5 jam dengan biaya per orang Rp 25.000. Awalnya jalan masih landai tapi lepas setengah jam mulai terus menanjak dan berkelok-kelok melingkari bukit. Ada beberapa bagian dimana jalanan bukan dalam bentuk aspal dan di kiri kanan terdapat jurang menganga. Yang pasti selama perjalanan saya gak ngeliat ada penumpang yang tidur, semuanya melek demi nikmatin lukisan alam yang kebangetan bagusnya.

Begitu tiba di Cemoro Lawang, hal memusingkan lainnya adalah mencari penginapan yang sesuai dengan budget pas-pasan kami. Biasanya nih (menurut hasil blogwalking), supir bison nawarin (baca: calo-in) penginapan dan paket jeep untuk explore Bromo ke penumpangnya. Tentunya dengan harga yang sudah di-mark up sambil nakut-nakutin penumpang kalo bakal susah nyari penginapan/jeep on the spot. Untuk yang paket jeep, kami ‘mengalah’ dengan ngambil yang ditawarin sama ‘calo’ merangkap ketua paguyuban sopir Bison (katanya) pas di pangkalan. Mikirnya lebih karena waktu itu pas long weekend dan ada kemungkinan permintaan melonjak drastis tanpa diimbangi suplai yang memadai. Gak ada salahnya mengamankan meskipun kayaknya kami digetok dengan harga Rp 600.000 untuk 4 tujuan (Penanjakan I, Bromo, Bukit Teletubbies/Padang Savana, dan Pasir Berbisik). Normalnya, untuk dua tujuan (Penanjakan dan Bromo), harga yang dipatok hanya Rp 350.000 dengan kemungkinan naik jadi Rp 450.000 pas peak season. Untuk empat tujuan, normalnya Rp 450-500 ribuan sih, jadi harga yang dibebankan ke kami sebenarnya masih cukup wajar (tapi hati tetap denial :p).

Nah, untuk penginapan kami gak mau tertipu bujuk rayu sang calo. Rencananya mau cari on the spot aja meskipun kondisi lagi peak season. Worst case scenario ya nginep di musholla (sampe kemudian teringat kalo penduduk sana Suku Tengger yang mayoritas Hindu :D). Untungnya di Bison kenalan sama tiga orang sesama backpacker (Dimas dan Danang dari Bandung dan Robby dari Bekasi, nice to know you guys!) yang bersedia sharing cost sama kami, baik untuk penginapan maupun biaya jeep. Setelah negosiasi yang cukup alot, akhirnya kami mendapat satu kamar isi 5 kamar tidur di Homestay Tengger Permai dengan harga Rp 350.000 per malam. Dibagi 7 maka biaya untuk penginapan cuma Rp 50.000 per orang. Cukup untuk mengkompensasi biaya jeep yang melebihi ekspektasi awal :)

IMG_0037

IMAG0296

IMAG0295

IMAG0298

 Suasana sekitar penginapan pas sore hari. Dari penginapan tinggal ngesot untuk bisa ngeliat view Gunung Bromo-Gunung Batok-Lautan Pasir

IMG_0075

Killing time with cards. It’s god damn freezing up there at night. 

CHAPTER IV: THE D-DAY

Waktu deal soal paket jeep ke Bromo, kami dijanjikan akan dijemput jam 3.00 atau bahkan 2.30 biar gak perlu terlalu jauh jalan kaki untuk mencapai View Point Penanjakan I. Taaaaaaapi, sampe jelang jam 3.30 itu jeep sama sopir gak kunjung datang. Padahal kami bertujuh udah bangun dari jam 2 pagi melawan kantuk dan dingin yang menghujam sanubari. Nongkrong di depan penginapan sambil sirik ngeliat banyak jeep yang udah lalu lalang berisi penumpang menuju Penanjakan. Ada opsi untuk trekking juga sih menuju ke sana, biasanya bule-bule pada milih cara ini. Rutenya gak sama kayak yang pake jeep, motong jalan lewat ladang warga dan menanjak bukit dengan waktu tempuh +/- 3 jam. Harus berangkat dari pagi banget (plus fisik yang prima seperti Barry.. Barry Prima.) kalo mau nyobain opsi ini dan mungkin saya juga mau nyobain kalo ada kesempatan ke Bromo lagi.

Kira-kira jam 3.30 akhirnya ketemu sama si sopir yang ternyata udah nunggu dari tadi di deket-deket penginapan. Miskomunikasi sodara-sodara! Ini semua gara-gara kita gak dikasih nomor hape si pengemudi sama calonya dan sebaliknya. Akibatnya komunikasi terjalin via perantara. Lesson learned. Yang penting akhirnya udah get ready to ruuuuumbleeee. Moga-moga gak telat-telat amat.

IMG_0077

Sudah siap dengan peralatan tempur untuk menghalau suhu minim di Penanjakan. Sarung tangan is a must kalo menurut saya. Kupluk dan kawan-kawan cukup jadi complementary. Dan jangan lupa bawa senter (atau bisa juga pake flashlight bawaan hape)

Setelah 45 menitan naik jeep mengarungi Lautan Pasir dan nanjak bukit akhirnya tiba juga di Penanjakan. Tapi, untuk menuju ke View Point Penanjakan I, kami masih harus jalan kaki sekitar 700 m dengan tingkat kecuraman yang ekstrem. Di sini baru kerasa kalo semua pada kurang olahraga hahaha.. Napas udah berasa kayak sakratul maut waktu nanjak, ditambah angin semriwing sama kondisi gelap gelapan. Anehnya, semua rasa capek itu seketika sirna begitu sampai di view point. Penanjakan I ini merupakan tujuan utama para pengunjung Bromo, meskipun sebenarnya ada juga Penanjakan II yang letaknya lebih rendah. Waktu itu Penanjakan I padet pol, bener-bener sesuai perkiraan karena bertepatan dengan long weekend. Sayangnya pas sampe situ udah agak ‘kesiangan’, jadi spot-spot strategis untuk ngeliat sunrise udah ditempatin orang sehingga cuman kebagian punggung doang.. :|

IMAG0301

*Gak lupa moto plat nomor jeep-nya biar gak keder pas dicariin*

IMG_0097

“Noh, siluet Mahameru udah keliatan!”

IMG_0096

Semburat fajar yang dramatis meskipun tanpa filter Instagram

IMG_0090

“Camera… action!” *berebutan pada moto*

IMAG0325

Ini dia, foto yang layak untuk dibikin kalender!

IMAG0327

Ini pas udah terpapar sinar matahari, padahal belum jam 6 loh.. Kata orang sih “you can never take one single bad picture of Bromo from Penanjakan” I have to agree with that notion :)

IMAG0337

#noedit #nofilter #sky #morning

IMG_0122

Busted! Bromo pas lagi batuk

IMAG0328

Gunung Batok (yang dulu sempat saya kira kalo itulah Gunung Bromo), Gunung Bromo, Lautan Pasir dan Gunung Semeru dengan Puncak Mahameru-nya di kejauhan

IMAG0333

Stunning scenery. Kami cukup beruntung pagi itu cuaca sangat cerah padahal 2-3 hari sebelumnya di Cemoro Lawang selalu turun hujan. Pengennya sih kebagian view Bromo di atas awan, tapi kayaknya itu cuman muncul pas musim kemarau. Kali ini view-nya polos :))

IMAG0336

Gerbang Penanjakan I. Fully packed!

Puas dengan sunrise di Penanjakan sekitar satu jam, kami pun memutuskan untuk turun menuju Bromo, soalnya kalo udah kesiangan bakal rame banget di bibir kawah dan cuaca semakin panas. Terlebih masih ada dua tujuan lagi selain Bromo dan Penanjakan. Selain itu, tiga orang dari kami juga harus kembali ke Malang untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Sempu. So, down we fall.

IMAG0338

Di tengah perjalanan turun dari Penanjakan masih banyak pemandangan epic kayak gini

IMG_0152

atau ini…

IMG_0167

Sempat berhenti di deket Gunung Batok. Membuat saya berpikir: pernah ada gak ya yang nyoba mendaki gunung ini trus berdiri di atasnya?

Dan akhirnya setelah perjalanan yang gak terlalu lama menembus lautan pasir, jeep kami pun tiba di parkiran. Mana Bromonya? Ternyata masih jauuuuuh. Masih harus jalan kira-kira 1 km hanya untuk mencapai tanjakan pertama menuju kaki Gunung Bromo. Seteah itu masih harus nanjak dengan kondisi tanah berpasir dan akhirnya bisa naik tangga ke kawah Bromo dengan jumlah sekitar 250 anak tangga. Di deket kaki Bromo juga ada pura tempat penduduk setempat bersembahyang. Satu hal yang harus diwaspadai di sini adalah… ranjau tokai kuda yang banyak banget berserakan di jalan :D

IMAG0361

Panoramic view Bromo diambil dari deket parkiran jeep di tengah Lautan Pasir.

IMG_20130310_071351 

A long and windy (and shitty) road to the crater

IMG_20130310_075536

IMAG0355

Gusti… tobat, tinggi banget. Paru-paru udah kembang kempis :p

IMG_0169

IMG_0180

 But it’s all worth it. Bau belerang samar-samar kecium dari bibir kawah sini. Not recommended buat yang takut ketinggian dan tempat sempit. 

IMAG0360

There’s always horses to assist you hike up, but where’s the fun? #sombong

IMAG0340

IMAG0363

Turun kembali

Next destination: Bukit Teletubbies dan Pasir Berbisik. Bukit Teletubbies sebenarnya cuma padang savana yang terletak di balik perbukitan sekitar Bromo. Disebut demikian karena katanya mirip sama bukit yang ada di film kartun Teletubbies. Untungnya saya gak ngeliat matahari bertampang muka bayi di sini. Tempat yang pas buat foto-foto sih, sambil tentunya tak lupa mengambil signature pic berupa foto pas loncat kalo kemari berombongan.

IMAG0367

Ini panoramic view-nya

IMAG0368

Kalo ini view dari deket

IMG_20130310_092149

Tampak belakang

Kalo Pasir Berbisik ya cuma berbentuk hamparan pasir luas berbukit-bukit.. Dulu pernah jadi setting film yang dibintangin Dian Sastro dan Christine Hakim. Dinamain begitu konon karena pada saat-saat tertentu (biasanya pas kemarau), angin yang berhembus di sini bisa bikin suara seolah-olah pasir lagi berbisik… Bisikannya: “bang sate 100 tusuk bang…” Pas kami ke sini sih gak kedengeran suara bisikan gaib kayak gitu, malah berasa di toko material raksasa dimana ada promo all you can take buat pasir bangunan :)) Lumayan juga buat ngerasain sensasi padang pasir Arabia KW super.. (sempet ada yang foto pre wed loh pas kita ada di sana)

IMAG0376

Terima kasih HTC telah menjadikan saya orang norak karena terus-terusan ngambil foto panoramic view

IMAG0372

Liat yang pake kebaya ijo di kejauhan? Itu adalah Nyi Blorong calon mempelai perempuan yang lagi foto pre wedding :))

IMAG0373

Moon-like surface

CHAPTER V: BACK TO SQUARE ONE

Itinerary awal yang saya susun mengasumsikan kalo kita bakal stay 2 malam di Cemara Lawang. Jadi rencananya setelah explore Bromo pas pagi ini, pagi-pagi keesokannya berangkat dari Cemoro Lawang menuju Probolinggo lalu Malang. Jika masih ada waktu, muter-muter Kota Malang sebentar dan capcus balik Jakarta. Tapi rencana itu buyar waktu sopir bison yang kita tumpangi bilang keberangkatan paling pagi Cemoro Lawang-Probolinggo baru jam setengah sepuluhan. Riskan banget mengingat KA berangkat dari Stasiun Malang jam 14.50. Akhirnya setelah rapat koordinasi dadakan, kami memutuskan untuk menanggalkan falsafah backpacker untuk sementara dan… numpang tidur di rumah saudara temen di Probolinggo. X))

Setelah mandi, beres-beres dan makan siang (rata-rata sekali makan di Cemoro Lawang menghabiskan biaya Rp 10.000), kami pun bertolak menuju Probolinggo dengan menggunakan Bison yang ngetem di dekat penginapan. Perjalanan pas pulang tidak selama waktu berangkat dan hanya memakan waktu satu jam. Sebagian besar juga dihabiskan buat tidur sih. Begitu tiba di Terminal Bayuangga dan berpisah dengan teman-teman yang mau ke Sempu, perjalanan dilanjutkan ke Kota Probolinggo. Saking kecilnya Probolinggo, angkot di kota ini cuma ada 7 jalur, ditandai dengan huruf A sampai G. Di sini, kami menginap satu malam untuk kemudian bertolak menuju Malang keesokan paginya. Ini sih namanya quasi-backpacker :))

IMAG0381

Detour sejenak ke Pelabuhan Probolinggo. Ceritanya panjang kenapa bisa sampe sini :))

IMAG0385

Alun Alun Kota Malang. Kecil tapi asri. Ada banyak burung dara berkeliaran bebas, bisa dikasih makan juga. 

IMAG0386

Masjid Jami’ tepat di seberang alun-aln 

IMG_20130311_125443

Interior dalam masjid

IMG_0258

Sempat mampir ke Toko Oen, masih di dekat alun alun. Toko baheula jaman Belanda yang spesialisasinya jualan es krim. Menu-menu masih tercetak dalam bahasa Belanda dalam buku menu yang lusuh kaya pake filter Toaster (halah, referensi Instagram lagi..)

IMAG0390

daaaan… kembali lagi ke Stasiun Malang Kota Baru. 905 kilometer menuju Jakarta

IMAG0392

Semoga gak bosen sama foto panoramic view. Satu kereta ini kayaknya dipenuhin sama kelas menengah Jakarta yang sedang memarginalkan diri dengan naik KA Ekonomi. Terima kasih film 5 cm.

IMG_0270

Nih dia sumber AC laknat yang bikin kami meringkuk kedinginan sepanjang malam. Semestinya bersyukur sih cuma bayar Rp 51.000 bisa dapet AC, tapi hembussan udara dinginnya terlalu hardcore!

Setelah tiba di Jakarta, saya baru baca berita kalo KA Ekonomi jarak jauh sekarang secara bertahap akan dilengkapi pendingin udara, dan, sebagai konsekuensinya, harga tiket naik drastis. Sekarang misalnya, tiket Matarmaja naik menjadi Rp 160.000 (!). Jadi saya dan teman-teman termasuk generasi terakhir penumpang Matarmaja bertiket Rp 51.000.. #hiks. Untuk rencana backpacking selanjutnya akan jauh lebih mahal dan KA Ekonomi tidak lagi sekompetitif sebelumnya.

Gak sempat ke Air Terjun Madakaripura, gak sempet nyicipin bakso Malang yang autentik, gak sempet beli merchandise Arema, ke Batu, agro wisata, dll.. Kayaknya masih banyak alasan buat saya untuk mengunjungi Malang-Bromo suatu saat nanti :) Mungkin bisa dicoba juga rute ke Bromo via Surabaya-Probolinggo-Cemoro Lawang. KA Ekonomi Kertajaya PSE-SBY ‘hanya’ memakan waktu perjalanan 14 jam, berangkat Jakarta sore dan nyampe Stasiun Pasar Turi sebelum jam lima pagi. Untuk perjalanan pulang pun waktunya lebih longgar, karena baru berangkat sekitar jam 4 sore. Apapun itu, sekali nyobain perjalanan dengan budget minimalis nyerempet ngegembel begini ternyata emang asyik banget dan nyandu. Can’t wait to unfold new experience in the new destination(s) in the near future :)

Rincian biaya*:

Tiket KA Matarmaja pp: Rp 102.000

Angkot Stasiun Malang-Terminal Arjosari pp: Rp 5000

Bus Patas AC Arjosari-Probolinggo pp: Rp 46.000

Bison Probolinggo Cemoro Lawang pp: Rp 50.000

Penginapan (Homestay): Rp 50.000 per orang per malam

Paket Explore Bromo 4 tujuan: Rp  100.000 per orang

Biaya makan, miscellaneous, dsb: Rp 100.000

Total pengeluaran: Rp 453.000++

*) = all prices are subject to change

PS: Some pics are courtesy of my fellow traveler, Desti and Willi. Credit goes to them.

5 thoughts on “A Journey To Bromo

  1. Pingback: Plesiran ke Malang dan Batu | kehendakbaru[dot]wordpress[dot]com

  2. Pingback: Panduan Menikmati Sunrise di Bromo Via Malang dan Probolinggo - Traveling Yuk

Leave a comment